
Suatu ketika, saya ngobrol santai dengan Pawang Jim—salah satu dari dua pawang lebah yang masih hidup di kampung saya.
Iseng-iseng, saya bertanya, “Bagaimana, sih, asal muasal lebah itu sebenarnya?”
Mendengar pertanyaan itu, Pawang Jim lalu mulai bercerita.
Lebah itu, berasal dari seorang putri kerajaan. Alkisah, ada 99 orang yang datang melamarnya. Namun, tak satu pun dari mereka yang diterima.
Merasa bersalah karena telah menolak semua lamaran, sang putri masuk ke dalam bilik khusus dan berdoa dengan penuh kerendahan hati. Ia mencurahkan isi hatinya kepada Sang Pencipta.
‘Tuhan,’ katanya, ‘karena aku telah menolak 99 pinangan dari hamba-hamba-Mu, aku mohon padamu, jadikanlah aku sesuatu yang bermanfaat bagi manusia—terutama bagi mereka yang yatim dan miskin.’
Setelah selesai bermunajat, sang putri melangkah keluar menuju halaman istana. Di sana, tiba-tiba tubuhnya berubah menjadi seekor lebah.
Setelah menjadi lebah, sang putri terbang menemui seorang bijak, memohon petunjuk, ke mana ia harus tinggal. Saat itu, lebah belum memiliki sengat di tubuhnya.
Orang bijak itu menunjuk sebuah pohon dan berkata, “Tinggallah di sana. Itu tempat yang aman bagimu.” Sang putri menyetujui. Bersama kawanannya, ia membangun sarang di pohon itu dan hidup dengan damai.
Namun, kedamaian itu tak bertahan lama. Suatu hari, beberapa orang datang dan penasaran dengan bentuk sarang yang menggantung tinggi di pohon. Tanpa izin, mereka memanjat dan mengambil cairan kuning keemasan dari dalam sarang.
Sang putri merasa terusik dan segera kembali menemui orang bijak. “Tempat tinggalku dirusak, dan kami tidak merasa aman lagi,” ungkapnya dengan penuh kesedihan.
Orang bijak mendengarkan dengan tenang, lalu berkata, “Pindahlah ke pohon yang lebih tinggi. Dan terimalah ini—sebatang jarum. Gunakanlah untuk melindungi dirimu dan tempat tinggalmu.”
Sang putri pun berpindah ke pohon lain yang lebih tinggi, kali ini dengan jarum sengat di tubuhnya. Beberapa waktu kemudian, datang lagi orang-orang yang hendak mengambil madu. Tapi kali ini, mereka tak bisa lagi seenaknya—karena lebah-lebah itu mempertahankan rumahnya. Mereka menyengat.
Sejak saat itu, sang putri lebah dan kawanannya pun hidup dengan tenang.
Pawang Jim sedikit menghela napas, lalu melanjutkan:
“Karena sejarah lebah seperti itu, maka kami—para pawang, punya adab. Ketika hendak mengambil madu dari pohon-pohon, terlebih dahulu kami mengadakan kenduri—memberi makan dan bersedekah kepada anak yatim dan fakir miskin.
Setelah kenduri terlaksana, barulah kami pergi ke pohon di hutan untuk mengambil madu.
Tapi pengambilannya pun tak boleh sembarangan. Kami harus hati-hati saat membersihkan sarang, tidak boleh menyakiti lebah.
Setelah madu diambil dan kami turun dari pohon, pawang akan melakukan ritual “membangunkan” lebah-lebah yang terjatuh ke tanah.
Ini adalah adab kami kepada sesama ciptaan Tuhan, kepada makhluk yang telah memberi manfaat bagi hidup kami. Tidak boleh menyakiti mereka. Kami harus berusaha agar kehidupan lebah kembali seperti semula.
Setelah itu, madu yang kami bawa pun disedekahkan kembali kepada anak yatim dan fakir miskin di desa.
Tapi belum selesai sampai di sana. Keesokan paginya, pawang harus kembali ke pohon yang kemarin, memastikan tidak ada lebah yang tertinggal di tanah. Jika masih ada, maka ritual “membangunkan” akan dilakukan lagi.
Dan jika semua sudah kembali seperti semula—sarang utuh, lebah kembali, dan tanah bersih dari yang terluka—barulah prosesinya dianggap selesai.
Setelah mendengar cerita dan penjelasan yang memukau itu, aku tiba-tiba teringat bahwa adab-adab semacam ini sudah sangat langka dalam kesadaran manusia kontemporer.
Saat ini, sering kali, selain manusia—bahkan selain dirinya dan kelompoknya sendiri—yang lain hanya dianggap sebagai benda mati. Hutan, sungai, hewan, udara, bahkan waktu dan tenaga sesama manusia, semua dipandang sebagai objek yang bisa dimanfaatkan seenaknya.
Tak ada lagi rasa segan, apalagi rasa hormat. Banyak manusia tak lagi mengenal tata krama terhadap alam. Yang penting untung, yang penting dapat hasil. Soal apakah yang lain akan rusak, terluka, menderita, atau bahkan punah, itu bukan urusan. Dia telah memosisikan dirinya superior di atas apa pun di sekitarnya.
Cerita dari Pawang Jim terasa seperti gema kuno yang menggetarkan kesadaran—gema di masa ketika manusia masih sadar bahwa dirinya bukan satu-satunya penghuni semesta. Ada adab yang harus dijaga, bahkan terhadap seekor lebah.
Kita bisa membayangkan, betapa tingginya adab yang dipraktikkan itu. Sebelum mengambil madu, mereka bersedekah. Saat mengambil pun, harus hati-hati agar tidak menyakiti. Dan setelah selesai, mereka kembali untuk membangunkan lebah-lebah yang terjatuh. Semua itu bukan semata ritual yang oleh sebagian orang “kurang piknik” masa kini dianggap musyrik, tapi itu merupakan pengejawantahan rasa kasih dan tanggung jawab.
Sungguh berbeda dengan mentalitas eksploitasi yang makin hari kian mengeras, mental yang penting aku dapat, biarlah yang lain kehilangan.
Mungkin, dari sinilah kita perlu belajar lagi dari lebah—dan dari orang-orang seperti Pawang Jim. Bahwa yang disebut ‘manfaat’ bukan hanya tentang berapa banyak yang kita ambil dan gunakan, tapi juga bagaimana kita menjaga agar setelah kita mengambil, kehidupan tetap berjalan seperti semula. Bahwa yang kita sebut ‘rezeki’ seharusnya menyertakan kepekaan dan penghormatan kepada yang memberikannya.
Di dunia yang serba instan dan cepat ini, kisah lebah dan pawangnya mengajarkan satu hal yang mendasar yang telah dilupakan banyak orang, bahwa mengambil itu perlu ilmu, dan jika itu bersentuhan dengan kehidupan makhluk lain, sesederhana apa pun bentuknya, seharusnya dilakukan dengan adab.

Arizul Suwar
Pimpinan Redaksi INTIinspira.com