
Oleh : Sumardi Efendi, S.H.I.,M.Ag (Ketua Yayasan Fanshur Aceh Cendekia dan Dosen Hukum Pidana Islam STAIN Meulaboh)
Setiap tahun, umat Islam di seluruh dunia merayakan Idul Adha sebagai bentuk ketaatan dan penghormatan terhadap kisah Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail. Ibadah kurban tidak hanya menjadi ritual keagamaan, tetapi juga menyimpan makna mendalam tentang ketulusan, keikhlasan, dan pengorbanan. Nilai-nilai inilah yang sangat penting untuk ditanamkan kepada anak-anak sejak dini. Di tengah derasnya arus modernisasi dan digitalisasi, pendidikan spiritual kerap terpinggirkan. Padahal, spiritualitas merupakan fondasi penting dalam membentuk karakter anak yang tangguh, empatik, dan bertanggung jawab. Melalui ibadah kurban, ada banyak pelajaran kehidupan yang bisa menjadi dasar pendidikan spiritual bagi anak.
Pendidikan spiritual tidak sekadar mengenalkan anak kepada agama atau mengajarkan ibadah secara teknis. Lebih dari itu, pendidikan spiritual menyentuh sisi terdalam dari jiwa anak—membangun kesadaran akan makna hidup, hubungan dengan Tuhan, serta kepedulian terhadap sesama. Ibadah kurban menjadi salah satu momen terbaik untuk menyampaikan nilai-nilai ini secara konkret.
Pertama, kurban mengajarkan makna pengorbanan dan keikhlasan. Kisah Nabi Ibrahim yang bersedia mengorbankan anaknya atas perintah Allah, serta kesediaan Nabi Ismail untuk patuh, menunjukkan ketaatan luar biasa yang dilandasi oleh keimanan. Anak-anak perlu mengenal cerita ini bukan hanya sebagai dongeng, tetapi sebagai pelajaran tentang keteguhan iman, keberanian dalam taat kepada Tuhan, dan keikhlasan dalam menghadapi ujian hidup. Melibatkan anak dalam aktivitas kurban—mulai dari memilih hewan, menyaksikan proses penyembelihan, hingga membagikan daging kepada yang membutuhkan—dapat menjadi pengalaman spiritual yang kuat.
Kedua, kurban menjadi sarana pendidikan sosial yang sangat baik. Dalam ibadah kurban, ada unsur berbagi yang sangat menonjol. Anak belajar bahwa daging kurban tidak hanya untuk dinikmati sendiri, tetapi juga dibagikan kepada mereka yang kurang mampu. Ini menumbuhkan rasa empati, solidaritas, dan kepedulian sosial. Anak-anak yang terbiasa melihat orang tuanya berbagi akan lebih mudah menginternalisasi nilai-nilai tersebut. Lebih dari sekadar memberi, anak juga belajar merasakan kebahagiaan orang lain saat menerima sesuatu yang dibutuhkan.
Ketiga, momen Idul Adha dapat dimanfaatkan untuk mempererat hubungan spiritual anak dengan Tuhan. Di era sekarang, anak-anak lebih akrab dengan gawai daripada dengan kitab suci atau tempat ibadah. Momen-momen seperti Idul Adha bisa menjadi waktu yang tepat untuk mengajak anak berdialog tentang Tuhan, iman, dan tujuan hidup. Ajakan ini tidak perlu selalu dalam bentuk ceramah, tetapi bisa melalui percakapan sederhana, refleksi bersama, atau kegiatan keluarga yang memperkuat ikatan spiritual.
Namun, tentu semua ini memerlukan peran aktif dari orang tua. Anak-anak tidak bisa serta merta memahami nilai-nilai spiritual hanya dari melihat. Mereka membutuhkan contoh nyata dan arahan yang konsisten. Orang tua perlu menjadi teladan dalam menjalankan ibadah kurban, menunjukkan sikap tulus, dan menyampaikan pesan-pesan moral dengan cara yang sesuai dengan usia anak. Misalnya, dengan menjelaskan bahwa hewan kurban bukan sekadar “dipotong”, melainkan sebagai bentuk ibadah dan kepedulian terhadap sesama.
Selain itu, penting juga untuk mengaitkan pengalaman spiritual ini dengan kehidupan sehari-hari anak. Misalnya, setelah kurban, anak diajak untuk menyisihkan sebagian uang jajannya untuk bersedekah, atau membantu teman yang kesulitan di sekolah. Dengan begitu, pendidikan spiritual tidak berhenti pada momen Idul Adha saja, tetapi menjadi bagian dari kehidupan mereka sehari-hari.
Di tengah tantangan zaman yang semakin kompleks, pendidikan spiritual menjadi kebutuhan yang mendesak. Anak-anak saat ini tidak hanya perlu pintar secara akademis, tetapi juga kuat secara batin. Mereka perlu dibekali nilai-nilai moral dan spiritual agar mampu menghadapi godaan, tekanan, dan perubahan yang terjadi di sekelilingnya. Ibadah kurban, dengan segala makna dan nilai yang terkandung di dalamnya, bisa menjadi titik awal yang baik untuk membangun fondasi spiritual tersebut.
Akhirnya, kita semua sepakat bahwa membentuk anak yang berakhlak mulia dan berjiwa sosial tidak bisa dilakukan secara instan. Dibutuhkan proses panjang yang melibatkan banyak aspek. Kurban hanyalah satu bagian kecil dari proses itu, tetapi jika dimanfaatkan dengan baik, ia dapat menjadi pijakan awal yang kokoh dalam menanamkan nilai spiritual yang akan tumbuh dan berkembang seiring waktu. Maka, mari jadikan momen Idul Adha bukan hanya sebagai rutinitas tahunan, tetapi sebagai ruang pembelajaran spiritual yang bermakna bagi anak-anak kita