Roni Hidayat di Depan Gedung Pendidikan Terintegrasi
Roni Hidayat, M.P.d_Dosen Prodi HTN STAIN Meulaboh
Aceh Barat, 01 Oktober 2025
Hari Kesaktian Pancasila setiap 1 Oktober bukan sekadar tanggal dalam kalender bangsa. Ia adalah gema sejarah, janji moral, dan ujian keberanian bagi seluruh anak bangsa. Di balik peringatan ini tersimpan luka yang mendalam sekaligus pelajaran berharga: pemberontakan PKI pada tahun 1965 yang mengkhianati kedaulatan negara. Lubang Buaya bukan sekadar lokasi tragedi, melainkan simbol darah, keberanian, dan harga mahal dari pengkhianatan terhadap ideologi negara. Enam jenderal dan satu perwira menengah TNI menjadi korban dari peristiwa yang bukan sekadar kekerasan fisik, tetapi juga serangan terhadap jiwa bangsa.
Pepatah Minang “Tak lakang dek paneh, tak lapuk dek hujan” menjadi pengingat bahwa luka sejarah tidak akan hilang ditelan waktu. Peringatan ini bukan sekadar ritual formal, tetapi kewajiban moral untuk menjaga ingatan kolektif bangsa. Mengingat kembali peristiwa kelam tersebut berarti mengukuhkan tekad bahwa bangsa Indonesia tidak akan membiarkan pengkhianatan terhadap Pancasila terulang. Pancasila bukan sekadar dasar negara, tetapi pondasi moral yang mengikat seluruh rakyat Indonesia dalam satu kesatuan: bangsa yang berkeadilan, beradab, bersatu, dan bermartabat.
Namun, tantangan terhadap Pancasila kini jauh lebih kompleks dibandingkan masa lalu. Pada era 1965, ancaman datang dalam bentuk ideologi komunisme yang ingin menggantikan dasar negara Pancasila. Kini, ancaman hadir dalam rupa yang lebih beragam: arus globalisasi yang deras, infiltrasi budaya asing, hegemoni ekonomi dunia, perkembangan teknologi yang begitu cepat, serta pergeseran nilai moral di tengah masyarakat. Tantangan ini bukan lagi sekadar soal ideologi politik, tetapi soal bagaimana Pancasila bertahan sebagai identitas bangsa di tengah derasnya perubahan zaman.
Kita berada di persimpangan sejarah: apakah Pancasila akan bertahan sebagai fondasi kehidupan berbangsa atau tergeser oleh arus zaman? Inilah ujian terbesar bagi generasi saat ini. Untuk itu, Hari Kesaktian Pancasila harus dijadikan momentum untuk melakukan rekontruksi pemahaman dan pengamalan nilai-nilai Pancasila sebagai fondasi pembangunan bangsa. Pancasila bukan sekadar teks di atas kertas, tetapi semangat hidup yang harus diinternalisasi dalam setiap aspek kehidupan berbangsa dan bernegara.
Penguatan ideologi Pancasila adalah fondasi utama untuk menjawab tantangan ini. Pancasila harus menjadi ruh kebangsaan yang menggerakkan setiap warga negara untuk berperan aktif membangun bangsa. Mustahil terwujud kesejahteraan dan keadilan tanpa adanya semangat kebangsaan yang bersumber dari ideologi Pancasila. Pancasila harus hidup dalam hati, pikiran, dan tindakan setiap warga negara. Pemahaman yang mendalam akan nilai-nilai Pancasila tidak hanya membentuk warga yang cerdas dan kritis, tetapi juga mampu menghasilkan solusi kreatif bagi persoalan bangsa. Generasi muda harus menjadi pelita yang menuntun bangsa ke masa depan — generasi yang cerdas, kritis, berkarakter, berakar pada nilai Pancasila, dan mampu berpikir strategis dalam menghadapi dinamika global.
Perguruan tinggi memegang peran strategis dalam membumikan ideologi Pancasila. Lembaga pendidikan tinggi adalah laboratorium kebangsaan — tempat ide dan nilai diuji, dibentuk, dan diwariskan. Perguruan tinggi harus menjadi benteng intelektual yang menanamkan nilai Pancasila, melahirkan generasi yang tidak hanya cerdas secara akademik, tetapi juga memiliki kepekaan sosial, kematangan moral, dan rasa tanggung jawab terhadap masa depan bangsa. Dengan suasana akademik yang kritis dan kreatif, perguruan tinggi dapat melahirkan generasi yang memiliki keberanian intelektual dan kepedulian sosial. Ini bukan hanya investasi pendidikan, tetapi investasi strategis untuk keberlangsungan Pancasila dan masa depan bangsa.
Hari Kesaktian Pancasila bukan sekadar seremonial. Ia adalah panggilan moral yang harus direspons dengan komitmen nyata. Pancasila adalah identitas bangsa yang harus hidup dan tercermin dalam setiap tindakan. “Pancasila untuk Dunia” bukan sekadar slogan, tetapi janji bahwa Indonesia akan tetap berdiri tegak, berakar pada nilai luhur, dan menjadi bangsa yang kuat dan dihormati.
Generasi masa kini memikul tanggung jawab besar. Kita berdiri di persimpangan — di mana pilihan akan menentukan arah bangsa. Apakah kita akan mempertahankan Pancasila sebagai benteng ideologi bangsa, atau membiarkannya tergerus oleh arus zaman? Pertanyaan ini bukan sekadar soal politik atau pendidikan, tetapi soal masa depan Indonesia sebagai bangsa merdeka. Hari Kesaktian Pancasila adalah pengingat bahwa menjaga Pancasila adalah menjaga jiwa bangsa.
Kini, bukan waktunya untuk diam. Inilah saatnya seluruh elemen bangsa — pemerintah, lembaga pendidikan, tokoh masyarakat, dan generasi muda — bersatu menguatkan Pancasila. Menginternalisasi nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan sehari-hari, menjadikannya panduan dalam pengambilan keputusan, dan membumikannya dalam pembangunan bangsa. Karena Pancasila bukan sekadar warisan sejarah, tetapi warisan kehidupan yang harus dijaga dan diwariskan kepada generasi mendatang.
Hari Kesaktian Pancasila adalah pengingat dan panggilan: bahwa masa depan bangsa tergantung pada bagaimana kita menjaga dan menguatkan ideologi Pancasila hari ini. Inilah komitmen kita bersama, untuk memastikan Indonesia tetap tegak, berdaulat, dan menjadi bangsa yang kuat di mata dunia — berakar pada nilai luhur, bersatu dalam keberagaman, dan bergerak maju menuju cita-cita bersama. Semoga