
Ahmad Fauzi menyampaikan materinya
Alue Peunyareng, 19 Juni 2025
Ahmad Fauzi, M.Pd., dosen Program Studi Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah (PGMI) STAIN Teungku Dirundeng Meulaboh, tampil sebagai pemantik dalam forum diskusi bertajuk “AI Masuk Sekolah: Berkah atau Musibah?” yang digelar di UPT Perpustakaan STAIN Teungku Dirundeng Meulaboh. Kegiatan ini merupakan bagian dari program kolaboratif Aceh Empowerment Forum, hasil sinergi antara STAIN Meulaboh dan Fanshur Institute, yang mendorong kajian kritis terhadap isu-isu strategis di bidang pendidikan dan teknologi.
Dalam forum yang dihadiri oleh kalangan akademisi, mahasiswa, serta pegiat literasi digital tersebut, Ahmad Fauzi menyoroti pentingnya kesiapan mental dan kebijakan dalam menyikapi masuknya teknologi AI ke ruang-ruang belajar. “AI tidak bisa kita tolak. Ia akan terus tumbuh besar, dengan atau tanpa kesiapan kita. Karena itu, yang perlu dilakukan adalah membangun sikap terbuka, terutama oleh para guru dan dosen,” ungkapnya.
Ia memperingatkan bahwa resistensi terhadap teknologi justru bisa membuat AI menjadi ancaman serius dalam pendidikan. “Ketika sekolah dan guru menutup pintu bagi AI, maka kita sedang membiarkan diri tertinggal. Sikap terbuka bukan berarti menerima secara mentah, tapi memberi ruang untuk adaptasi yang cerdas dan kritis,” jelasnya.
Namun di balik segala potensinya, Fauzi juga mengingatkan bahwa penggunaan AI tidak bebas dari risiko. Salah satu hambatan paling nyata adalah biaya akses yang tidak murah, baik untuk perangkat keras, perangkat lunak, maupun langganan platform AI. “Ini adalah tantangan nyata bagi institusi pendidikan. Pilihannya jelas: apakah mau berinvestasi untuk kemajuan, atau tetap stagnan di zona nyaman,” ujarnya.
Selain kendala finansial, ia juga menyinggung dampak sosial penggunaan AI, seperti meningkatnya ketergantungan pada teknologi dan berkurangnya interaksi manusiawi di ruang kelas. Oleh karena itu, menurutnya, perlu ada strategi mitigasi yang terencana dan berkelanjutan.
Beberapa langkah mitigasi yang ia tawarkan antara lain: penerapan protokol keamanan digital, pelatihan literasi AI bagi siswa dan guru, serta pembekalan terkait isu privasi dan etika digital. “Kita tidak hanya butuh alatnya, tapi juga butuh kesadaran kritis. Tanpa itu, AI bisa menjadi senjata makan tuan,” tegasnya. Sebagai upaya tambahan, ia juga merekomendasikan transfer pihak ketiga, yakni melakukan cross-check secara eksternal untuk mendeteksi penyalahgunaan atau penggunaan keliru AI dalam proses belajar-mengajar.
Diskusi ini menjadi salah satu langkah penting dalam mendorong literasi teknologi di kalangan pendidik dan pelajar Aceh, serta menunjukkan bahwa transformasi digital yang bijak harus dimulai dari ruang dialog, bukan hanya dari ruang teknologi.

Direktur Fanshur Institute, Ramli M.Ag dalam sambutannya menyampaikan bahwa kegiatan ini adalah dalam rangka mempersiapkan generasi milenial untuk sadar AI. Selain itu, bagi para guru dan dosen, kajian ini dapat menjadi “warning,” untuk terus meningkatkan skill dalam penggunaan AI sebagai media dan alat pembelajaran.
Turut hadir dalam kegiatan tersebut beberapa dosen seperti Sukri, M.Sos, Budi Handoyo MH, Muhammad Iqbal, MA, Khairuddin Hasan, M.Pd, beberapa alumni dan perwakilan mahasiswa STAIN Teungku Dirundeng Meulaboh. Ketua P3M STAIN Meulaboh, Jovial Pally Taran, M.Ag dalam kesempatan terpisah menyampaikan sambuatannya bahwa kegiatan tersebut harus terus dikawal dan dikembangkan. “Keberdampakan kajian ilmiah adalah output yang dihasilkan dapat memberi penerang bagi masyarakat dalam memahami problem kongkret dilingkungannya,” ujar Jovial ketika dihubungi oleh Tim Fanshur.

