Oleh Bahagia. Dosen Prodi Ilmu Politik Fisip USK Banda Aceh
Oleh Bahagia
Dosen Prodi Ilmu Politik Fisip USK Banda Aceh
Banjir bandang yang melanda sejumlah wilayah di Aceh meninggalkan persoalan berlapis yang tidak berhenti pada kerusakan rumah dan lingkungan. Di balik upaya penyaluran bantuan kemanusiaan, terdapat tantangan infrastruktur yang secara langsung menentukan cepat atau lambatnya pertolongan sampai ke tangan masyarakat. Salah satu titik krusial itu adalah Jembatan Awe Geutah, yang menjadi satu-satunya jalur darat alternatif penghubung Banda Aceh dengan Aceh Utara, Aceh Timur, dan Aceh Tamiang.
Dalam situasi darurat pascabencana, jembatan ini berubah fungsi menjadi nadi kemanusiaan. Relawan dari TDMRC USK bersama dosen dan mahasiswa FISIP USK harus melaluinya untuk menjangkau Kecamatan Langkahan, Aceh Utara, salah satu wilayah terdampak berat. Ketika jalur utama belum pulih, pilihan lain hanya tersisa melalui jalur udara atau sungai, yang memerlukan biaya tinggi dan tidak selalu memungkinkan bagi relawan yang bekerja atas dasar solidaritas dan kepedulian sosial.
Perjalanan melalui Jembatan Awe Geutah bukan perkara mudah. Antrian kendaraan bisa mencapai lima hingga enam jam. Pembatasan tonase hingga sekitar 20 ton membuat arus lalu lintas semakin tersendat. Relawan dan masyarakat harus bersabar, menunggu giliran, bahkan dalam kondisi lelah dan tekanan waktu. Namun, waktu yang terbuang di antrian tidak menyurutkan tekad untuk tetap melanjutkan perjalanan menuju titik bantuan.
Kecamatan Langkahan sendiri terdiri dari 23 gampong yang membutuhkan perhatian serius. Bantuan logistik, kebutuhan pokok, dan dukungan kemanusiaan sangat dinantikan oleh warga. Ketika akses jalan terhambat, distribusi bantuan ikut melambat. Kondisi ini memperlihatkan betapa erat hubungan antara infrastruktur dan kemanusiaan. Jalan dan jembatan bukan sekadar sarana transportasi, melainkan prasyarat dasar bagi kehadiran negara dan solidaritas sosial di tengah bencana.
Banjir bandang yang terjadi di sedikitnya 18 kabupaten dan kota di Aceh, terutama di wilayah Aceh Utara, Aceh Timur, dan Aceh Tamiang, memperberat beban relawan yang berangkat dari Banda Aceh maupun wilayah Barat Selatan Aceh. Jarak tempuh yang panjang, kondisi medan yang sulit, serta keterbatasan jalur memperlihatkan bahwa respons bencana tidak hanya membutuhkan semangat, melainkan juga kesiapan infrastruktur yang memadai.
Jembatan Awe Geutah saat ini berfungsi sebagai solusi sementara. Hampir satu bulan pascabencana, jembatan utama belum juga rampung. Situasi ini menimbulkan harapan besar kepada pemerintah agar percepatan perbaikan infrastruktur menjadi prioritas. Penyelesaian jembatan utama akan memperlancar arus bantuan, mengurangi beban relawan, serta membantu pemulihan ekonomi masyarakat. Kelangkaan barang dan hambatan distribusi dapat ditekan jika akses transportasi kembali normal.
Gambaran relawan mahasiswa yang harus berjalan kaki melintasi jembatan menjadi simbol kuat dari perjuangan kemanusiaan pascabencana. Mereka melangkah di atas struktur sementara, membawa harapan bagi masyarakat di seberang. Jembatan Awe Geutah, dalam konteks ini, tidak hanya menghubungkan wilayah, tetapi juga menghubungkan kepedulian, tanggung jawab, dan komitmen bersama untuk memastikan bahwa korban bencana tidak dibiarkan menghadapi kesulitan sendirian.