Bahagia dan Anak-anak Langkahan
Oleh Bahagia, Dosen USK Banda Aceh
Banjir bandang besar yang melanda Pulau Sumatra meninggalkan jejak kehancuran yang tidak mudah dilupakan. Di Kecamatan Langkahan, Aceh Utara, air datang dengan kekuatan yang meruntuhkan rumah, memutus akses, serta memporak-porandakan kehidupan warga. Di balik data kerusakan dan laporan tanggap darurat, ada kenyataan yang jauh lebih sunyi dan jarang dibicarakan: terhentinya dunia anak-anak. Dunia yang seharusnya dipenuhi rutinitas belajar, bermain, dan tumbuh dengan rasa aman, berubah menjadi ruang ketidakpastian.
Anak-anak adalah kelompok yang paling rentan dalam situasi bencana. Mereka belum memiliki daya tawar, belum mampu menyuarakan kebutuhan secara penuh, dan sepenuhnya bergantung pada keputusan orang dewasa. Ketika rumah mereka hanyut atau rusak parah, rasa aman ikut runtuh. Ketika sekolah mereka terendam, proses belajar terhenti tanpa kepastian kapan akan kembali berjalan. Dalam kondisi seperti ini, pendidikan tidak lagi hadir sebagai agenda utama, melainkan tertunda oleh kebutuhan bertahan hidup yang mendesak.
Hasil perjumpaan relawan dosen dan mahasiswa dengan masyarakat di Langkahan menunjukkan betapa kompleks situasi yang dihadapi anak-anak pascabencana. Kebutuhan dasar seperti air bersih, beras, dan bantuan pangan memang mendesak. Namun, di balik itu semua, terdapat kebutuhan lain yang tak kalah penting, yaitu perlengkapan pendidikan. Banyak anak kehilangan seragam sekolah, buku tulis, alat tulis, dan perlengkapan belajar lain. Tahun ajaran yang seharusnya disambut dengan harapan justru hadir sebagai kecemasan bagi orang tua dan anak.
Sebagian besar masyarakat di 23 gampong Kecamatan Langkahan mengalami kehilangan tempat tinggal dan harta benda. Sawah rusak, ternak hanyut, dan sumber penghidupan terganggu. Dalam situasi seperti ini, perhatian orang tua terfokus pada pemulihan ekonomi keluarga. Pendidikan anak sering kali terpaksa menunggu. Bukan karena dianggap tidak penting, melainkan karena keterbatasan yang nyata. Ketika kebutuhan makan harian belum terpenuhi, membeli buku dan seragam menjadi sesuatu yang terasa jauh.
Di sinilah persoalan pendidikan pascabencana seharusnya dibaca sebagai tanggung jawab kolektif, terutama negara. Anak-anak korban banjir bandang tidak boleh menanggung beban ganda: kehilangan rumah sekaligus kehilangan akses pendidikan. Jika hal ini dibiarkan, bencana alam akan bertransformasi menjadi bencana sosial yang dampaknya berlangsung jauh lebih lama. Keterputusan pendidikan berpotensi melahirkan generasi yang tertinggal, baik secara akademik maupun psikologis.
Hingga beberapa waktu setelah banjir bandang, perubahan signifikan dalam kehidupan masyarakat belum sepenuhnya dirasakan. Bantuan belum menjangkau semua korban secara merata. Sebagian gampong masih menunggu perhatian dan kebijakan yang jelas. Proses distribusi bantuan menghadapi berbagai kendala, sementara masyarakat berusaha bertahan dengan kemampuan yang terbatas. Dalam situasi ini, kehadiran relawan dari kalangan akademisi dan mahasiswa menjadi cahaya kecil yang memberi harapan. Mereka hadir, mendengar, mencatat, dan menyaksikan langsung dampak bencana terhadap anak-anak.
Namun, kerja kemanusiaan berbasis relawan tidak dapat diposisikan sebagai solusi utama. Ia bersifat sementara dan bergantung pada solidaritas. Pemulihan pendidikan anak membutuhkan kebijakan yang terencana, berkelanjutan, dan berpihak pada kelompok rentan. Sekolah-sekolah yang rusak perlu segera mendapatkan perhatian. Jika bangunan belum dapat diperbaiki, ruang belajar darurat yang layak perlu disediakan. Anak-anak membutuhkan tempat yang aman untuk kembali belajar, sekaligus memulihkan kondisi psikologis mereka.
Pendidikan pascabencana juga menuntut pendekatan yang lebih luas dari sekadar pembangunan fisik. Anak-anak yang mengalami banjir bandang menyimpan trauma. Mereka menyaksikan air menghancurkan rumah, mendengar tangis orang tua, dan hidup dalam ketidakpastian. Proses belajar tidak akan berjalan optimal jika aspek psikososial ini diabaikan. Pendampingan, perhatian guru, dan lingkungan belajar yang suportif menjadi kebutuhan yang tidak dapat ditunda.
Peristiwa banjir bandang di Langkahan seharusnya menjadi cermin tentang rapuhnya sistem perlindungan pendidikan di wilayah rawan bencana. Daerah-daerah yang terdampak sering kali sudah berada dalam kondisi keterbatasan sejak awal. Infrastruktur pendidikan belum sepenuhnya kuat, akses layanan publik terbatas, dan ketergantungan pada sumber daya alam sangat tinggi. Ketika bencana datang, kerentanan itu semakin terlihat.
Membayangkan masa depan anak-anak Langkahan berarti membayangkan pilihan etis kita hari ini. Apakah pendidikan akan diperlakukan sebagai urusan sekunder yang menunggu keadaan normal, ataukah sebagai kebutuhan mendasar yang harus segera dipulihkan? Anak-anak tidak pernah memilih untuk hidup dalam situasi bencana. Mereka hanya berharap dunia orang dewasa mampu menjaga hak mereka untuk belajar dan bermimpi.
Banjir bandang ini memberi pelajaran bahwa pendidikan tidak boleh berdiri sendiri, terpisah dari kebijakan lingkungan, tata ruang, dan kesejahteraan sosial. Ketika sungai meluap dan pemukiman hancur, sekolah ikut terdampak. Ketika kemiskinan meningkat, risiko putus sekolah menguat. Oleh karena itu, pemulihan pascabencana harus dilihat secara utuh, dengan pendidikan anak sebagai salah satu poros utamanya.
Di balik lumpur yang mengering dan puing-puing rumah, ada anak-anak yang menunggu kepastian. Mereka menunggu apakah sekolah akan kembali dibuka, apakah buku akan kembali mereka pegang, dan apakah masa depan masih layak mereka harapkan. Banjir bandang telah menguji daya tahan alam dan manusia. Kini, yang diuji adalah kesungguhan kita dalam memastikan bahwa pendidikan anak tidak ikut hanyut bersama arus bencana.
Langkahan 23 Desember 2025